Minggu, 21 November 2010

SEE ON BEAUTY

Ketika kita melihat sesuatu, yang diluar kendali kita, seperti lampu mati, ketiadaan makanan, kemacetan, ketidakteratura atau perbuatan orang lain yang tidak menyenangkan maka bagaimana respon kita terhadap peristiwa tersebut adalah suatu PILIHAN (CHOISE).

Tidak dapat dipungkiri setiap kita, harus melakukan suatu pilihan dalam menjalani hidup ini. Memang kita harus memilih untuk bekerja dimana, sekolah dimana, siapa yang akan menjadi pendamping hidup kita, mau naik kendaraan apa dll. Segala hal yang kita lakukan merupakan pilihan yang sudah kita tentukan. Persoalannya tidak semua pilihan kita itu mendatangkan hal yang membahagiakan. Lalu bagaimana????????

Pilihan tetaplah pilihan, jika sudah ditetapkan maka kita harus menerima dengan segala resikonya. Namun yang menjadi beda adalah “pilihan kita untuk melihat dari SUDUT PANDANG yang mana”. Mungkin pilihan kita kurang tepat, namun jika kita mampu melihat dari sudut pandang yang tepat maka kita akan merasa bahwa semuanya itu mendatangkan kebaikan bagi kita.

Milikilah sudut pandang yang berfokus pada hal yang positif. Ini bukan pekerjaan mudah membutuhkan “LATIHAN”. Yach… berbicara latihan maka itu adalah suatu pekerjaan yang harus sering dilakukan dan berulang-ulang. Mulailah dari hal-hal yang kecil terlebih dahulu, misalnya: ketika kita tidak mendapatkan tiket kereta, cobalah melihat dari sudut pandang yang positif. Jika kita sudah terbiasa, maka kemampuan itu akan menjadi “Gaya Hidup” kita.

Sekarang apa yang kita alami, dalam situasi sesulit apapun kita bisa jauh lebih berhasil dengan cara memilih untuk menerima segala yang telah terjadi terlebih dahulu. Namun jangan diartikan sebagai sikap yang pasif dan pasrah, hal-hal yang belum terjadi tetap harus kita perjuangkan semaksimal mungkin sesuai dengan keinginan kita.

MATRAS (MATI RASA)


Suatu sore aku melihat seorang penjual lele yang asik dengan hewan pliharaannya itu. Wajahnya yang penuh dengan peluh, baju hitam yang basah dan sebuah tas usang melekat di tubuhnya. Tangannya sangat trampil ketika memegang lele yang selalu melompat-lompat kesana kemari.

Sejenak kuperhatikan, tak nampak olehku rasa sakit yang saat memegang lele. iseng-iseng kutanya

Pak, lelenya udah nggak “Matil ta” tanyaku dengan bahasa jawa yang artinya apa nggak ngigit. Tak kusangka sang bapak hanya tertawa renyah bak kacang goreng, sambil menjawab, ” Udah biasa mbak, jadi udah nggak terasa lagi sakitnya.

Semakin penasaran aku dibuatnya, kembali aku bertanya untuk kedua kalinya.

Maksudnya gimana pak?”

Dengan senang hati sang bapak berkata,” sebenaranya sakit juga ketika memegang lele, tapi semuanya itu “Tidak menjadi Soal” yang penting dapat uang buat kasih makan anak istri. sakit-sakit juga dijalani. sambil tersenyum simpul.

Mungkin jawaban bapak penjual lele itu terlihat sederhana, tapi bagiku ada makna dibalik semuanya. aku melihat jiwa yang rela berkorban untuk anak istri, jiwa yang rela untuk sakit demi sesuatu yang ingin dicapai.

Satu pelajaran berharga bagiku di sore hari, ketika kita melihat “Tujuan Akhir” dari sesuatu yang kita kerjakan. Atau hasil yang akan kita peroleh, maka kita tidak lagi memikirkan rasa sakit yang harus kita derita, semuanya terhapuskan dengan fokus pada apa yang akan kita capai.

Mungkin saat ini kita berada pada posisi yang udah nyerah, putus asa atau membiarkan sesuatu tanpa ada pergerakan sama sekali alias jalan di tempat, belajarlah pada pak penjual lele. Jangan melihat rasa sakit atau sesuatu yang tidak nyaman untuk dirasakan tetapi lihatlah pada hasil akhir yang akan kita capai, maka semua rasa sakit itu menjadi hilang alias mati Rasa.

NEVER GIVE UP

Sabtu, 20 November 2010

MENGAJAR ANAK UNTUK MANDIRI DAN BERTANGGUNG JAWAB


Kemandirian atau ketidakbergantungan menjadi suatu momok yang tidak disadari oleh orangtua ketika melihat anak-anaknya tidak lagi di bawah pengawasannya. Suatu saat ketika menghadiri rapat orangtua murid, ada sesuatu yang menurut saya tidak masuk akal. Orangtua dari seorang murid meminta untuk dipasang “CCTV” di setiap kelas sehingga mereka dapat melihat bagaimana keadaan anaknya di kelas, bagaimana gurunya memperlakukan demikian juga relasinya dengan teman sekelasnya. Sungguh ironis, orangtua sangat tidak mempercayai guru dan juga anaknya.

Disisi yang lain, semangat yang luar biasa dilakukan oleh para staf dan guru agar anak mampu mandiri dan belajar bertanggung jawab terhadap segala tugas-tugasnya. Anak tidak lagi diijinkan untuk dijaga oleh orangtua maupun baby sitter, walaupun untuk melepaskan kebiasaan itu harus ada air mata yang menetes dan suara tangisan yang keras. Namun itu tidak menghentikan semangat mereka, karena itulah yang seharusnya terjadi dan baik untuk kehidupan mereka di masa depan.

Orangtua dan guru harus bekerja sama untuk menolong anak agar tidak bergantung dan belajar bertanggung jawab. Bagi sebagian guru yang sudah di didik dan dilatih hal itu terlihat mudah, bagaimana dengan para orangtua? Bagaimana caranya? Untuk memahami itu para orangtua harus mengerti apa yang dimaksudkan dengan kemandirian dan bertanggungjawab? Pada usia berapakah itu dapat dilakukan? Mengapa kemandirian dan rasa bertanggungjawab itu penting? Dan akhirnya bagaimana caranya mengajar anak untuk mandiri dan bertanggung-jawab.

Kemandirian dan Tanggungjawab

Kemandirian tidak dapat lepas dari akar katanya yaitu “mandiri” yang seringkali menjadi anekdot bagi banyak orang dengan singkatan dari “Mandi sendiri”. Walaupun tidak demikian arti sebenarnya. Namun ada kata “sendiri” yang merupakan unsur pokok dari kemandirian. Kemandirian mengandung pengertian melakukan segala aktivitas yang sudah mampu dilakukan tanpa bantuan orang lain atau melakukannya sendiri. Misalnya seorang anak sudah dapat makan minum sendiri, sikat gigi sendiri, mandi sendiri dll.

Bertanggung jawab memiliki pemahaman yang lebih luas daripada kemandirian. Seseorang yang sudah bertanggungjawab biasanya juga akan diikuti dengan kemandirian dalam dirinya. Namun seorang anak yang mandiri belum tentu mampu untuk bertanggungjawab. Tanggung jawab menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan. Misalnya : seorang anak setelah bermain harus bertanggungjawab untuk membersihkan atau mengembalikan mainannya pada tempat yang seharusnya, menaruh sepatu pada tempatnya, setelah pulang sekolah harus mengganti baju dll.

Anak tidak dapat dengan sendirinya mengetahui kapan ia harus mandiri dan bertanggungjawab. Orangtua berkewajiban untuk menolongnya. Kemandirian dan tanggung jawab harus dilatih sampai menjadi suatu kebiasaan yang sudah mendarah daging. Itu harus dilakukan secara terus-menerus dan membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Tetapi hasilnya akan nampak dikemudian hari kelak.

Kapan Harus Dimulai ?

Banyak orangtua memandang anak kecil sebagai pribadi yang rentan dan selalu harus ditolong oleh orang dewasa. Hal ini dilakukan karena menganggap usianya masih relatif kecil dan belum mengetahui apa-apa. Dengan berjalannya waktu, tanpa disadari orangtua lupa untuk mengajarkan kemandirian dan rasa tanggungjawab kepada anak.

Kapan sebenarnya seorang anak sudah dapat diajarkan untuk mandiri dan bertanggung-jawab? Menurut saya jauh lebih baik jika dilakukan sedini mungkin agar mereka dapat bertanggung jawab terhadap hidupnya. Secara nyata kemandirian dan rasa bertanggung jawab dapat dilakukan ketika anak sudah memintanya. Bagaimana kita tahu bahwa mereka sudah mau mandiri dan bertanggungjawab ?

Bagi mereka yang memiliki anak, pasti akan sering berjumpa dengan anak-anak yang berkata “ Mama, aku mau betulin sendiri?” atau “Aku, mau coba sendiri?” jika anak-anak kita sudah seringkali berkata demikian berarti sudah saatnya untuk diajar mandiri dan bertanggungjawab. Seharusnya para orangtua patut bersyukur karena anaknya mau belajar mandiri, namun reaksi yang di dapat berbeda. Orangtua memiliki kecenderungan untuk melarang ini, jangan pegang itu, kamu belum bisa dll. Akibatnya anak menjadi berontak dengan menangis, memukul dll. Cobalah menyadari hal ini.

Dari segi usia maka anak usia 2-3 tahun sudah dapat diajar untuk bersikap mandiri dan bertanggungjawab. Mandiri dan bertanggung jawab tentunya sesuai dengan kemampuan anak. Jika menurut orang tua anak belum mampu sepenuhnya maka anak dapat ditolong untuk mengerjakannya bersama-sama. Misalnya: ketika mandi mungkin anak-anak belum terlalu mampu untuk mandi dengan bersih maka orang tua dapat mendampingi anak. Mengajarkan mana yang harus diberi sabun, mana yang harus digosok dan itu harus dilatih sampai anak mampu melakukannya dengan sempurna.

Pentingkah kemandirian dan tanggungjawab ?

Suatu saat saya makan bersama dengan beberapa teman. Kami datang serombongan untuk merayakan hari ulang tahun salah satu dari anggota rombongan ini. Ketika semuanya sedang asik menikmati makanan, tiba-tiba telepon dari salah satu di antara kami berdering, dan terdengarlah percakapan yang bagi orang dewasa tampak lucu. Teman saya ini begitu diatur harus makan nasi 5 sendok, gelas harus dilap kembali dengan tisu, dan didiktekan apa saja yang harus dilakukan selama makan. Dari segi usia dia bukan anak-anak lagi, saat itu sedang merencanakan untuk menikah. Tetapi ketergantungan kepada orangtua belum bisa dilepaskan. Selidik punya selidik memang orangtuanya merasa nyaman ketika anaknya bergantung kepadanya. Tetapi ditengah teman-temannya dia merasa malu karena tidak dapat berbuat apa-apa.

Biasanya anak menjadi minder, tidak dapat bersosialisasi dengan baik, sering merasa cemas karena harus tanpa orangtua. Anak tidak dapat mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Dan ini berakibat dalam jangka panjang sampai anak beranjak dewasa. Untuk itulah sangat penting mengajar anak agar mandiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya dan apa yang menjadi tugas tanggungjawabnya.

Bagaimana Caranya ?

Orangtua mempunyai tugas untuk mengajar anak-anaknya agar mandiri dan bertanggungjawab. Tugas dan tanggungjawab ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Memerlukan suatu ”Komitmen”. Artinya bagaimanapun sulitnya, atau mungkin besarnya perasaan jengkel karena sikap anak, orangtua harus tetap rela untuk mengajar anak mandiri dan tanggungjawab.

Berikut ada beberapa tips yang dapat digunakan untuk menolong anak agar dapat mandiri dan bertanggung-jawab yaitu:

1. Hindari keterlibatan terhadap setiap aktivitas anak.

Ketika seorang anak sudah mampu untuk menerima suatu aktivitas yang sesuai dengan usianya maka orangtua seharusnya mengajarkan kepada anak bagaimana melakukan itu. Orangtua bukan melakukannya untuk anak tetapi orangtua sebagai pendamping (guide) agar anak dapat melakukan aktivitasnya. Selain sebagai guide, orangtua berperan sebagai ”Motivator” untuk mendorong dan mengajak anak agar mau ”Berjuang” melakukan sesuatu yang baru.

2. Percayailah anak kita.

Ketidakmampuan orangtua untuk mengajar anaknya mandiri dan bertanggung jawab adalah karena mereka tidak bisa mempercayai anaknya. Seorang anak sangat membutuhkan untuk tahu bahwa dirinya dipercaya. Misalnya: anak diminta tolong untuk membawakan barang belajaan yang relatif ringan. Bagaimana anak bisa tahu bahwa dirinya dipercaya ? Doronglah anak dengan kata-kata yang positif seperti,”Kamu, anak yang pintar atau kamu, pasti bisa.” Melalui ini anak dapat di ajar untuk berpikir positif tentang dirinya sendiri.

3. Ajarlah suatu ketrampilan hidup melalui RUTINITAS

Mendengar kata rutinitas mungkin kita dapat beranggapan negatif karena sesuatu yang sering dilakukan dan membosankan. Sebenarnya tidaklah demikian. Rutinitas memberikan kepada anak suatu pengalaman untuk melakukan (praktek) dan pengulangan. Misalnya: setiap pulang dari sekolah maka anak harus membuka sepatunya sendiri dan menaruh pada tempat sepatu, mengeluarkan tempat rotinya, menaruh tas pada tempatnya dll.

Suatu saat saya mendengar percakapan seorang anak dengan neneknya. Nek, kalau pagi harus mandi, sudah mandi sekolah, terus makan, main, terus tidur, terus bangun lagi mandi, terus makan, main lagi, terus tidur lagi, gitu yach... dari percakapan itu kita bisa memahami bahwa anak sudah belajar mandiri melalui rutinitas yang dilakukan.

4. Biarkan anak menerima pengalaman melakukan kesalahan dan menerima konsekuensinya.

Sebagai orangtua terkadang kita menerima sikap anak yang tidak menuruti apa yang kita katakan. Sekali waktu kita perlu membiarkan anak untuk melakukan apa yang menjadi pilihannya, dan berikan konsekuensi terhadap apa yang dilakukan jika itu menjadi suatu kesalahan. The nanny 911 menggunakan istilah ini dengan kata ”TIME OUT”. Artinya ada konsekuensi terhadap suatu kesalahan. Time out ini dilakukan dengan memilih suatu tempat untuk anak, misalkan kursi, sudut rumah, sebagai tempat anak melakukan time out. Time out dilakukan dengan menyuruh anak untuk berhenti dari aktivitasnya selama beberapa waktu di tempat yang sudah ditentukan. Bagi orangtua ini biasa, tetapi bagi anak ini suatu konsekuensi yang berat. Cara ini sangat efektif, untuk mengajarkan anak bertanggungjawab terhadap apa yang telah dilakukannya.

5. Melatih anak ke arah hidup yang mandiri dan bertanggung jawab.

Anak-anak kita terutama yang masih kecil terlalu sering untuk bertanya tentang segala sesuatu yang ingin diketahuinya. Hal ini dapat dijadikan sarana untuk mengajarkan kemandirian dan rasa tanggungjawab kepada anak. Misalkan : seorang anak melihat temannya jatuh, coba tanyakan apa yang harus dilakukannya? Setelah menjawab, doronglah anak untuk melakukan itu dan berikan pujian karena sikapnya yang bertanggungjawab.

Akhir dari semuanya, setiap orangtua menginginkan anaknya untuk mandiri dan bertanggungjawab. Mengharapkan anaknya mengalami pertumbuhan yang sehat baik secara mental maupun jasmaninya. Namun tidak dengan menghindarkan anak dari rasa sakit dan keadaan yang serba baik. Tetapi dengan memperlengkapi mereka dengan apa yang dibutuhkannya untuk bertanggungjawab dan mandiri.

PERINGATAN: HATI-HATI VIRUS ”ORANG TUA DENGAN CINTA PALSU”.


Orang tua dengan cinta palsu ??? mungkinkah ???? Jika pertanyaan tersebut kita berikan kepada para orang tua, bagaimana jawaban mereka ? Dengan suara yang lantang, itu tidak mungkin,” kata mereka. Orang tua memiliki kasih yang sejati, murni dan sepanjang masa. Jadi ingat lagu ”Kasih Ibu” yang menyatakan bahwa kasih orang tua itu ”tak terhingga sepanjang masa”, ”Hanya memberi tak harap kembali”. Hal ini tidak dapat disangkal walau dengan perubahan jaman, ada juga orang tua jauh dari kasih seperti yang digambarkan.

Suatu saat saya bertemu dengan teman saya yang sedang melakukan penelitian tentang maraknya waria di suatu kota besar. Dari hasil penelitiannya ditemukan adanya prosentase yang besar bahwa semuanya itu akibat beberapa orang tua yang telah melakukan cinta palsu terhadap anak-anaknya. Cinta palsu itu membuat mereka memilih untuk hidup di tengah-tengah orang yang memberikan cinta yang sejati. Walaupun cinta sejati yang mereka maksudkan itu pada dasarnya keliru.

Ada cinta sejati adapula cinta palsu. Lalu apa sich yang dimaksud dengan cinta sejati sesungguhnya? Mengapa ada orang tua yang tidak memiliki cinta sejati? Bagaimana caranya supaya memiliki cinta yang sejati ? Itulah sebabnya kita perlu mengetahui kedua hal tersebut dengan jelas.

Cinta yang Menerima
Seorang ayah yang penuh kasih sayang terhadap dua orang putranya. Anak yang bungsu telah cukup dewasa dan merasa harus hidup mandiri dengan meninggal kan kedua orang tuanya. Untuk mewujudkan niatnya itu, ia menuntut semua yang menjadi haknya. Hak yang dimaksudkan adalah harta warisan. Setelah mendapatkan semuanya ia meninggalkan orang tua dan rumahnya. Ia berjalan tanpa menoleh sedikitpun. Ayah itu membiarkannya pergi. Ia membiarkan anaknya memilih jalan sendiri. Tetapi setiap petang hingga malam hari ia menanti anaknya itu kembali. Hatinya mengharap dan matanya menatap jalan yang datang dari kota.
Seseorang datang dari kota dan menyampaikan berita yang kurang sedap tentang anak yang dinantinya. Anakmu itu orang yang mata keranjang, tukang berfoya-foya dengan banyak wanita, pemabuk, ”katanya. Sungguh suatu perbuatan yang sia-sia jika ayah ini harus menanti anaknya kembali. Namun itu semua tidak membuat ayah ini menjadi berhenti melakukan apa yang selama ini dilakukan nya. Setiap sore ia duduk di depan rumah, matanya tidak pernah lepas dari jalan. Ia duduk menanti hingga hari gelap. Ia berdoa dengan air mata berlinang-linang untuk anaknya itu. Anaknya yang telah hilang namun selalu dirindukannya.
Sore berganti sore malam berganti malam, tak kenal lelah ayah ini menanti sang anak. Suatu petang, ketika ia sedang duduk di depan rumahnya, hatinya meledak dengan kegembiraan. Karena dari jauh ia melihat seseorang datang. Dengan mata tuanya ia mencoba melihat dengan jelas dan memang benar dari kejauhan ia melihat anaknya pulang.

Ayah itu bangkit dari duduknya dan berlari menyongsong anaknya pulang. Hatinya amat senang, air matanya mengalir dari pipinya yang sudah tampak garis keriputnya. Ayah ini tidak mempedulikan pandangan orang tentang sikapnya yang nampaknya bodoh. Ia merangkul anaknya dengan erat, air mata kegembiraan terus mengalir diwajahnya.
Melihat sikap ayahnya, sang anak mengatakan sesuatu tentang ketidakpulangan nya. Ia merasa tidak pantas menerima sambutan yang demikian. Ia hanya meminta untuk diterima sebagai pekerja di kebun ayahnya itu. Ayahnya tidak peduli dengan apa yang dikatakannya. Hatinya mengatakan,”Ayah tidak peduli bagaimana keadaanmu atau apa yang telah engkau lakukan.” Yang terpenting adalah bahwa engkau sekarang pulang ke rumah.

Sang ayah menyuruh pelayannya untuk memasangkan cincin di jari anaknya, memakaikan jubah yang indah. Ia menyuruh menyiapkan hidangan yang istimewa untuk kepulangan anaknya. Bahkan sang ayah mengadakan pesta besar untuk penyambutan anaknya sudah kembali.

Kisah ini, menggambarkan cinta sejati yang sesungguhnya. Jika kita menyimak dengan seksama, cerita itu menggambarkan cinta Yesus Kritus terhadap anak-anakNya. Demikian seharusnya cinta orang tua terhadap anaknya. Cinta sejati yang dimaksud adalah cinta yang menerima (baca: tanpa syarat). Lalu bagaimana cinta orang tua yang palsu?

Cinta yang Palsu
Kembali seperti pertanyaan di atas, mungkinkah orang tua memiliki cinta yang palsu. Kita semua percaya bahwa setiap orang tua memiliki cinta sejati untuk anaknya. Mereka bekerja mati-matian mencari uang untuk membahagiakan anaknya. Memberikan pendidikan yang selayaknya bahkan kalau perlu yang bertaraf ”Internasional” pun akan dilakukan. Memang itu bagian dari cinta sejati. Tetapi apakah itu semua sudah mewakili cinta yang sejati ? itu tidaklah cukup, ada beberapa hal yang menjadi ciri orang tua dengan cinta palsu yaitu:

Pertama, orangtua yang terobsesi dengan keinginannya. Memang tidak salah orangtua yang memiliki harapan agar anaknya kelak akan memenuhi apa yang diharapkannya. Namun semuanya itu berakibat buruk jika mengesampingkan keinginan dan harapan anak. Sebagai contoh : ada orang tua yang hanya memberikan kasih sayang dan cinta serta penguatan kepada anak bila ”keinginan orang tua dipenuhi”: bila raportnya bagus, bila mereka patuh, bila mereka dapat menimbulkan rasa bangga orangtua dan lain sebagainya. Tanpa disadari para orangtua telah meletakkan identitas diri kepada anaknya sesuai dengan yang mereka harapkan dan pilihkan. Orangtua meletakkan anak mereka di sudut sempit dalam kehidupan ini, dan hanya membolehkan mereka menjadi seperti yang mereka inginkan.

Kedua, orangtua yang menjadikan anak sebagai ajang pemenuhan ”Harga Diri”. Artinya anak dijadikan alat untuk pemenuhan harga diri dari orang tuanya. Orangtua merasa berharga jika anaknya mengikuti tren yang sedang ada. Mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh kalangan atas (baca: orang kaya). Contohnya: setiap hari anak dituntut dengan seabreg kegiatan ini dan itu hanya karena anak dari sesama orang tua mengikuti kegiatan tersebut. Orangtua merasa tidak nyaman ketika anaknya tidak sama dengan anak orang lain. Hal-hal seperti ini semakin nampak dibarengi dengan kemajuan teknologi dan perubahan jaman yang semakin hari bukan menjadi semakin baik tetapi semakin buruk.

Back to the Bible
Istilah yang sederhana kembali kepada Alkitab yang merupakan sumber segala hikmat dan dasar dari segala sesuatu yang kita lakukan. Kebenaran Firman Allah memberikan kita beberapa hal yang berkaitan dengan Cinta sejati atau cinta yang menerima yaitu dalam Lukas 15:11-32 (tentang anak yang hilang).

Pertama, cinta yang sejati adalah cinta yang tidak didasarkan pada perasaan. Memang pada umumnya cinta itu harus dikuatkan dengan perasaan-perasaan. Tetapi tidak didasarkan pada perasaan. Kalau cinta adalah perasaan, maka cinta itu dapat berubah. Cinta yang sejati didasarkan pada ”Keputusan” dan ”Komitmen”. Sang ayah tidak mempedulikan bagaimana perasaannya karena tingkah laku anaknya. Sang ayah hanya berkomitmen bahwa saya memutuskan untuk mengasihi bukan berdasarkan apa yang saya rasakan. Yesus Kristus memberikan contoh kepada kita bahwa kasih seperti inilah yang memiliki kadar cinta paling tinggi (Yohanes 15:13).

Kedua, cinta yang sejati adalah cinta yang menerima apa adanya atau tanpa syarat apapun (baca: cuma-cuma). Sang ayah mencintai anaknya sekalipun ia telah membuat hatinya sakit, malu karena cemohan orang dll. Cinta sang ayah bukan karena anaknya baik. Ia memberikan dengan cuma-cuma (Lukas 15:20-23).

Hanya ada dua kemungkinan dalam kita mencintai seseorang yaitu mencintai dengan bersyarat dan tanpa syarat. Jika kita memilih untuk mencintai dengan syarat maka sejujurnya kita belum saling mencintai. Kita hanya ”Take and Give” tidak lebih dan tidak ada pemberian yang cuma-cuma. Cinta yang sejati adalah cinta yang merupakan hadiah secara cuma-cuma. Artinya jika kita mencintai maka kita ”berbagi” semua yang baik yang kita miliki. Orang yang kita cintai mendapat cinta kita bukan karena ia memenangkan suatu pertandingan atau kontes bukan pula karena ia pantas menerima cinta kita.

Ketiga, cinta yang sejati adalah cinta yang membawa pada suatu perubahan. Ketika sang anak menyadari keadaannya, ia menjadi ingat akan cinta sang ayah yang sejati. Cinta itulah yang mendorong anaknya pulang (Lukas 15:17-18).
Kita tidak akan pernah dapat merubah orang lain, jika dalam diri kita sendiri belum mengalami perubahan yang sesungguhnya. Kita harus menunjukkan adanya perubahan dalam diri kita. Demikian juga orangtua tidak dapat merubah anaknya menjadi baik jika dalam diri orangtuanya belum terjadi perubahan yang sesungguhnya.
Memang bukanlah sesuatu yang mudah untuk kita dapat memiliki cinta yang sejati. Namun demikian bukan tidak mungkin kita melakukan semuanya. Kita perlu ingat bahwa sumber cinta yang sejati itu ada dalam diri kita yaitu ”Yesus Kristus”. Sehingga kita dimampukan untuk melakukan semuanya bersama dengan Dia.

Just Do it
Kita sudah mengetahui bagaimana cinta sejati itu. Lalu bagaimana kita melakukan kepada anak-anak kita? mungkinkah semuanya itu terwujud? Awali langkah dengan bertekat untuk melakukan saja. Ingat kembali bahwa kita memiliki Allah yang menyanggupkan kita melakukan segala sesuatu. Go...go... lakukan saja.

John Powell dalam bukunya Cinta tak bersyarat menyatakan ada 3 hal yang dapat menolong orangtua mewujudkan cinta sejati yaitu :
Kelemahlembutan, yaitu jaminan yang membesarkan hati: ”saya selalu di sampingmu. Saya selalu memperhatikanmu”. Anak tidak akan menghiraukan seberapa banyak yang orangtua ketahui, sebelum mereka tahu seberapa banyak orangtua memberikan ”Perhatian”. Inilah dasar cinta sejati yang sesungguhnnya. Pertukaran perhatian tentang kebahagiaan orang yang dicintai dan penguatan dalam membangun dan menjamin harga diri orang yang dicintai. Misalnya: Mama mengasihimu, ayah menginginkan kebahagiaanmu, ayah dan mama akan melakukan yang terbaik untukmu. Kemudian berikan kecupan, niscaya itu bisa menjadi sesuatu yang dapat dilihat oleh anak.

Dorongan, yaitu jaminan yang diberikan berulangkali, yang memberikan tambahan kekuatan dan menimbulkan rasa mantap. Misalnya : ”Kamu pasti bisa, kamu pasti dapat melakukannya”. Dorongan ini tidak hanya sesaat tetapi dilakukan berulang-ulang. Seorang ibu mengajak anaknya berjalan-jalan. Sang anak ingin melompat parit di halaman rumah. Menurut sang ibu, anak ini mampu melakukan lompatan sendiri, namun sang anak berkata: Ma, tolong aku?” ayo kamu bisa,” kata ibunya. Nanti aku jatuh, kata anaknya. Mama akan ada untuk menolongmu. Lalu sang anak melompat dan hasilnya anak mampu melakukan apa yang diinginkannya. Berikan kecupan atau pelukan yang menandakan dukungan.

Tantangan, yaitu dorongan yang amat kuat yang diwarnai dengan kasih untuk melakukan sesuatu yang baik (baca: yang diinginkan anak). Orangtua dengan cinta sejati dapat mendorong orang yang dicintai untuk berkembang ”melampaui batas tertentu” berdasarkan kebiasaan yang telah tertanam. Tantangan membuat anak-anak kita menyadari kekuatannya. Tantangan memberikan dorongan untuk mendayagunakan kekuatan itu: ”Cobalah ! Raih Lakukan! Kalau berhasil, mama orang pertama yang bertepuk tangan paling keras dan paling hangat menyambutmu. Kalau gagal, mama akan berada di sampingmu. Kamu tidak akan sendirin. Ayo teruslah.

Akhirnya, keluarga merupakan sarana yang tepat untuk menerapkan kasih tanpa syarat sesuai dengan perintah Allah. Rumah dan keluarga merupakan suatu tempat untuk mendapatkan cinta sejati. Beberapa ahli sosial sekarang melihat bahwa fungsi keluarga untuk menyediakan kasih merupakan tanggung jawab utama dalam keluarga. Anggota keluarga berharap bahwa keluarga adalah tempat dimana setiap orang dapat menunjukkan empati yang tak terbatas, pengertian dan dorongan dari anggota keluarga lainnya. Interaksi kasih dengan anggota keluarga merupakan satu terapi yang paling bermakna bagi mereka yang terluka secara pribadi.

”Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam namaKU,
ia menyambut Aku”
Markus 9:37

MENJADI ORANG TUA TIDAK HARUS SEMPURNA


Orang tua merupakan suatu contoh yang utama dalam kehidupan anak-anak. Karena melalui diri orang tualah anak belajar berbagai hal. Baik itu tentang nilai, sikap, cara bertindak maupun berkaitan dengan apa yang dirasakan. ketika sedih atau menghadapi masalah orangtua lari kepada Tuhan dengan berdoa. Demikian jugalah yang dilakukan anak ketika mereka merasa sedih.

Sebagian besar orang tua mengetahui tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang “Model” bagi kehidupan anak-anaknya. Terutama bagi anak-anak yang masih dibawah pengawasan orang tua. Namun demikian, tidak semua orang tua memiliki pemahaman yang tepat tentang arti menjadi model. Untuk itu penting orang tua memiliki pemahaman baru tentang “Menjadi Model”.

Menjadi model bukanlah suatu panggilan untuk menjadi pribadi yang sempurna. Pribadi sempurna bisa diartikan sebagai pribadi yang harus selalu baik atau tidak kedapatan bercacat. Berbicara secara sopan dengan intonasi yang jelas. Selalu berpikir positif dalam menyikapi setiap keadaan. Tingkah lakunya haruslah masuk dalam kategori yang paling baik.

Hal ini tidak salah, namun dapat menimbulkan akibat yang sangat penting ketika anak mendapati bahwa model atau tiruan yang dijadikan contoh tidak seperti yang diharapkan. Seorang anak perempuan sangat mengidolakan ayahnya. Dia menceritakan perihal ayahnya secara luar biasa kepada setiap orang yang dikenalnya. Ayahku adalah seorang pekerja keras, penyayang dan selalu memperhatikan kehidupan keluarganya. Tanpa sengaja si anak bertemu dengan sang idola dalam sebuah restoran, sungguh sangat ironis bahwa ia menemukan ayahnya bersama wanita lain. kebencian, kekecewaan berkecamuk di dalam hatinya. Ayahku bukanlah pria yang bisa dibanggakan,” katanya dengan nada marah.

Jika pemahaman menjadi model sebagai suatu panggilan untuk menjadi sempurna, saya rasa ini tidaklah realistis. Karena pada kenyataannya manusia tidak dapat sempurna bahkan sampai mati sekalipun.

Lalu bagaimana sebenarnya ? Model yang sesungguhnya justru nampak ketika setiap orang dapat melihat dan menerima keberadaan orang lain yang tidak sesuai dengan harapannya. Bagaimana sikap suami terhadap istri yang bertentangan dengan apa yang diinginkannya, merupakan contoh kongkrit bagi anak untuk bersikap terhadap orang lain. Seorang anak sedang bercakap-cakap dengan neneknya. Sang Nenek bertanya, “Kemana ayahmu?” tanpa tedeng aling-aling buah hati ini berkata : istrinya aja nggak nyari masak aku nyari seh..?” dengan raut muka tanpa rasa bersalah.

Orang tua yang menjadi model adalah orang tua yang menunjukkan kepada setiap anaknya bagaimana mereka dapat menerima orang lain yang tidak sempurna dan mengampuninya. Ketidaksempurnaan kita sebagai orang tua bukanlah kegagalan kita sebagai orang tua. Kecacatan model justru menjadi pembelajaran yang positif dalam diri anak untuk belajar tentang menerima keberadaan orang lain sebagaimana adanya.

Perlu diwaspadai !!! Orang tua harus terus meningkatkan kehidupannya secara ”Progresif” untuk menjadi model yang semakin hari semakin sempurna sampai pada menjadi pribadi yang jauh lebih baik.