Pendahuluan
Setiap orang tidak dapat lepas
dari yang namanya “Jatuh Cinta”. Karena pada hakekatnya setiap manusia itu
membutuhkan untuk mencintai dan dicintai. Sebagai contoh diawali dari manusia
lahir kedunia ini, semua terjadi karena didasarkan rasa cinta. Mereka terlahir
ke bumi ini dan mendapat cinta dari kedua orang tuanya, keluarganya dan semua
orang yang ada di lingkungannya. Seiring berjalannya waktu, manusia akhirnya
memutuskan untuk mencintai seseorang yang sering kita namakan “Falling in
Love”.
Cinta juga mampu membuat orang
mabuk kepayang alias menjadi cinta yang membabi buta bahkan sering kita
mendengar istilah “Cinta Buta”. Bukan cinta antara orang yang buta, melainkan
cinta yang tidak memandang apapun, pokoknya cinta mati. Ada orang yang
mencintai, seorang yang seusianya, ada juga yang lebih tua, atau lebih muda.
Bahkan, terkadang mereka mencintai orang-orang yang seharusnya tidak dicintai
karena rentang usia yang terlalu jauh.
Namun ada, juga orang yang
alergi dengan cinta. Akibatnya mereka, berasumsi lain tentang perasaan ini.
Mengapa? Ada banyak alasan yang membuat orang menjadi anti terhadap cinta. Bisa
jadi karena pernah merasakan disakiti oleh orang yang dicintainya, dan
memutuskan untuk tidak jatuh cinta lagi. Ada orang, yang karena melihat
banyaknya masalah yang ditimbulkan akibat cinta, sehingga untuk amannya mereka
enggan melibatkan diri dalam soal cinta. Bahkan yang lebih ekstrim, ada juga
alasan-alasan rohani digunakan untuk memutuskan tidak jatuh cinta.
Hal lain, terutama yang di
alami oleh anak-anak Tuhan. Sering anak Tuhan belum memiliki acuan yang jelas
bagaimana seharusnya mereka menjalin cinta, bolehkah seperti orang-orang
duniawi? Atau harus berbeda? Atau dalam beberapa hal boleh sama, namun di hal
lain berbeda. Untuk itu, marilah kita melihat beberapa perspetif Alkitab dan
tokoh-tokoh Kristen tentang bagaimana seharusnya orang percaya itu menjalin
cinta. Untuk perspektif dunia, tidak perlu dibahas karena pada prinsipnya semua
orang sudah memahami.
Perspektif Alkitab
Berbicara tentang perspektif
Alkitab berarti kita sedang membicarakan “Prinsip-Prinsip”
yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang percaya ketika mereka menjalin
Cinta. Prinsip-prinsip ini adalah hal mutlak, dalam pelaksanaannya perlu aturan
dari beberapa tokoh Kristen yang membahas tentang cinta.
Pertama, Cinta
itu datangnya dari Allah atau dengan kata lain Allahlah yang menciptakan cinta
itu (Kej.2:18). Mengapa cinta itu diciptakan? Karena menurut Allah bahwa “tidak baik” manusia itu seorang diri
saja. Dari alasan ini, perlu ditinjau kembali alasan-alasan orang yang menolak
cinta, dan merasa mampu tanpa orang lain.
Karena pada Hakekatnya, manusia
itu tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan orang lain sebagai “Penolong”. Kata penolong juga
memberikan penjelasan kepada kita bahwa apabila manusia itu “menjalin cinta”
dimaksudkan untuk “Menolong” satu dengan lainnya sehingga masing-masing pribadi
menjadi lebih baik. Bagaimana dengan kehidupan dunia dewasa ini sebagai
pasangan yang sedang menjalin cinta? Biasanya mereka hanya sekedar untuk
bersenang-senang, kebersamaan, menghindari kesepian, takut dibilang tidak laku,
bahkan terkadang untuk main-main atau mencari keuntungan pribadi. Perspetif
Alkitab, menjalin cinta berarti membuat orang yang kita cintai itu memiliki
pribadi yang lebih baik. Misalnya dari tidak pernah ke gereja menjadi rajin ke
gereja, dari tidak pernah berdoa menjadi rajin berdoa, atau menjadi rajin
membaca Alkitab.
M
Hati-hati bagi anda yang sedang menjalin cinta, namun dalam prosesnya
membawa saudara menjadi pribadi yang tidak baik…. Waspadalah…… itu salah satu
tanda cinta yang tidak berasal dari Tuhan.
Kedua, cinta
yang melibatkan Tuhan dalam penentuannya (Kej. 24:1-3; 21; 48). Dalam realita
sehari-hari kita tidak dapat melihat Tuhan, namun Tuhan selalu menuntun kita
dalam menentukan pasangan yang tepat untuk umatnya. Salah satunya adalah
melalui “Orang Tua”. Ketika kita
memutuskan untuk menjalin cinta dengan seseorang (serius, bukan cinta monyet,
atau dengan motivasi hanya untuk kesenangan) maka harus melibatkan orang tua.
Apakah mereka menyetujui atau tidak menyetujui. Memang, ada orang tua yang
otoritas untuk menentukan pasangan hidup anaknya. Dengan ukuran dan Kriteria
seperti yang mereka harapkan misalnya: bibit, bebet, bobot. Terkadang itu tidak
sesuai dengan pilihan dan mau kita. Lalu harus bagaimana? Keputusannya tetap,
harus terus melibatkan orang tua, No.. back street atau jalan belakang. Namanya
saja sudah jalan belakang berarti sudah tidak baik. Tetap perkenalkan kepada
orang tua sebagai teman, biarkan orang tua mengemukakan pendapatnya, jika
berbeda berarti ada hal yang perlu kita pertimbangkan, bersahabatlah dahulu,
jangan memutuskan untuk “Berpacaran”, sambil berdoa dan minta Tuhan,
menunjukkan apa yang menjadi kendalanya. Jangan kuatir…, jika pilihan kita
sesuai dengan kehendak Tuhan maka Tuhan akan mendamaikan mereka dengan kita (Amsal
16:7).
M Hati-hati, tidak ada alasan untuk “Back
Street” bagi anak-anak Tuhan yang sedang menjalin cinta. Tidak ada satu alasan
pun yang membenarkan untuk tidak melibatkan orang tua dalam menentukan pasangan
hidup.
Ketiga, Kriteria
ukuran yang utama adalah “Takut Akan
Tuhan” (Kel. 1:21). Beberapa anak muda, datang kepada saya untuk menanyakan
apa Kriteria utama untuk mencari pasangan hidup? Apakah fisiknya harus cantik?
Menurut saya, jika memang bisa mendapat yang cantik kenapa tidak. Tetapi
kalaupun tidak mendapat yang cantik secara fisik, ada hal utama yang menjadi
ukuran yaitu pribadi yang takut akan Tuhan. Apakah harus pandai? Sama seperti
yang saya jelaskan di atas, kalau memang ada kenapa tidak? Tetapi itu bukan
ukuran yang utama, hanya sekunder. Ukuran untuk menentukan pasangan adalah yang
“Takut akan Tuhan”. oh… kalau begitu mesti mencari di gereja dong? Tidak juga,
memang seharusnya gereja adalah tempat orang-orang yang takut akan Tuhan untuk
berkumpul. Namun pada hakekatnya, justru gereja hanya dijadikan ajang untuk
menutupi segala sesuatunya supaya terlihat rohani. Lalu bagaimana kita tahu?
Setiap orang dapat dilihat dari perbuatannya, tanda orang yang takut akan Tuhan
adalah melakukan segala perintah Tuhan. Salah satu tanda, memiliki kehidupan
doa, baca firman dan rajin beribadah, serta memiliki karakter Kristus.
Keempat,
Mengasihi seperti dirimu sendiri (Mat. 22:39; Lukas 6:31). Ketika kita sudah
memutuskan untuk menjalin suatu hubungan dengan seseorang maka kita sudah
mengambil satu “Keputusan” atau bahasa
sekarang “komitmen”. Yaitu sebuah
keputusan atau komitmen untuk mencintai. Keputusan ini, diawali dengan perasaan
cinta dan dalam prosesnya dibalut dengan komitmen. Artinya, ketika proses untuk
menjalin cinta itu, kita menemukan hal-hal yang kurang baik (berkaitan dengan
proses karakter) maka kita harus bisa menerima dan berusaha untuk menolong
pasangan menjadi pribadi yang lebih baik. Namun, jika diperingatkan, ditegur
dan dinasehati masih tetap demikian, maka sebaiknya tidak melanjutkan hubungan
tersebut. Dan tetap berteman baik. Jika sudah memasuki, pernikahan maka itu
Komitmen yang sudah tidak dapat diputuskan.
Arti yang lain dari mencintai
seperti dirimu sendiri adalah memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin
diperlakukan. Jadi, jika anda menginginkan pasanganmu memperhatikan maka
lakukan itu terlebih dahulu baru menuntut. Apabila anda ingin di sayang maka
sayangi terlebih dahulu. Demikian seterusnya, “diawali dari diri kita”, bukan pasangan kita.
Kelima,
Janganlah melakukan hubungan “Sex” sebelum waktunya (Kej. 2:24). Tidak ada
alasan apapun yang membenarkan kita melakukan hubungan sex sebelum melakukan
pernikahan yang kudus. Jadi, jangan jadikan sex sebagai alasan untuk meminta
restu orang tua, agar sang pasangan mau pindah agama dll. Ada resiko yang harus
anda tanggung ketika kita melakukan hubungan sex diluar penikahan.
Perspektif Tokoh Kristen
Suatu saat aku mengikuti mata
kuliah “Seksualitas dan Pernikahan”… ada banyak hal yang seru dan mungkin tak
terduga akan dibahas dari sesi itu. Ditambah lagi dengan dosen orang bule
cuakeppppppppppppp puol…. So nggak ngantuk kalau kuliah. Keseriusan, canda, dan semua yang aneh-aneh
muncul seperti gelembung yang ketika pecah menimbulkan gelak tawa di kelas.
Kami membahas satu buku yang judulnya menarik “Jodohku” pengarangnya
Walter Trobisch. Di dalamnya dijelaskan tentang kisah nyata yang merupakan
percakapan antara Trobisch dan mereka-mereka yang mengutarakan
persoalannya. Karena kita kuliah tentang
“seks dan pernikahan” so… yang dibahas tentunya juga seputar itu. Ada bagian
yang menarik, Trobisch membahas 6 batu ujian cinta yaitu:
1.
Ujian
untuk merasakan sesuatu bersama --- cinta sejati ingin merasakan
bersama, memberi dan mengulurkan tangan. Cinta sejati memikirkan pihak yang
lainnya, bukan memikirkan diri sendiri. Jika kalian membaca sesuatu, pernahkah
kalian berpikir, aku ingin membagi ini bersama dengan sahabatku? Jika kalian
merencanakan sesuatu, adakah kalian hanya berpikir tentang apa yang ingin
kalian lakukan, ataukah apa yang akan menyenangkan pihak lain? Yang terpenting
adalah membuat pihak lain berbahagia.
2.
Ujian
Kekuatan --- maksudnya apakah cinta kita memberi kekuatan baru dan
memenuhi kita dengan tenaga kreatif, ataukah cinta kita justru menghilangkan
kekuatan dan tenaga kita?
3.
Ujian
Penghargaan --- cinta yang sejati juga menjunjung tinggi pihak yang
lain. Ketika kita melihat seseorang dan mengaguminya karena dia memiliki
keahlian tertentu atau apalah yang membuat kita terkagum-kagum, kita perlu
bertanya apakah dia orang yang benar2 anda inginkan untuk menjadi pasanganmu.
Pertanyaan yang lebih spesifik, apakah kita benar-benar sudah punya penghargaan
yang tinggi satu kepada yang lainnya? Apa aku bangga atas pasanganku?
4.
Ujian
kebiasaan --- Cinta menerima orang lain bersama dengan kebiasaannya.
Jangan pernah berpikir bahwa kebiasaan itu akan berubah di kemudian hari karena
hal tersebut tidak mungkin terjadi. Kita harus menerima pasangan kita
sebagaimana adanya beserta segala kebiasaan dan kekurangannya. Pertanyaannya,
apakah kita saling mencintai atau juga saling menyukai?
5.
Ujian
Pertengkaran --- seorang pendeta ketika akan melakukan konseling pra
nikah bertanya kepada pasangan yang akan menikah, “Apakah kalian sudah pernah
bertengkar?” lalu jawab mereka,” Belum pak, karena kita saling mencintai.”
Kemudian pak pendeta ini berkata kalau begitu, tunda dulu pernikahan kalian.
Mungkin kelihatan aneh… yang terpenting bukan masalah pertengkarannya tetapi
“Kesanggupan untuk saling berdamai lagi.” Kemampuan ini mesti dilatih dan
diuji. Pertanyaannya, bisakah kita saling memaafkan dan saling mengalah?
6.
Ujian
Waktu --- Cinta perlu mengenal, tidak cukup hanya 3-4 bulan, minimal
dalam satu tahun. Jangan kita bertemu hanya ketika hari libur atau malam minggu
dengan pakaian yang rapi dan bau yang harum, tetapi juga pada saat bekerja di
dalam hidup sehari-hari, waktu belum rapi, atau cukur, masih mengenakan kaos
oblong, belum cuci muka, rambut masih awut-awutan, dalam suasana tegang ataupun
berbahaya.
Mungkin hal yang sama perlu kita
renungkan ketika kita menjalin “Persahabatan”. Memang tidak sekaku atau sedalam
ketika kita harus menentukan pasangan hidup. Setidaknya prinsip-prinsip
utamanya dapat diterapkan.
Hari ini, atau tepatnya 14 Februari sering disebut orang dengan hari
“Valentine” atau hari kasih sayang. Banyak orang mencoba mengungkapkan kasih
mereka dengan bunga, coklat, hadiah atau apalah yang membuat hari itu menjadi special. Di radio, lagu-lagu
cinta dan tembang-tembang romantis didengarkan secara bergantian, membuat
pendengar terbawa kealam romantisme untuk sesaat. Semuanya itu tidak salah,
persoalannya apakah, nilai kasih, sayang, cinta yang sebenarnya sebatas hal-hal
lahiriah? Yesus Kristus memberikan kita teladan tentang arti Kasih yang sesungguhnya.
Jika kita telah menerima kasih itu, so….. sekarang waktunya untuk membagi kasih
itu kepada sesama, diawali dengan prinsip-prinsip yang benar.