Dalam
hubungan interpersonal relationship, konselor mesti menyadari adanya berbagai
kemungkinan yang merugikan, ditimbulkan oleh sikap konsele terhadap
konselornya.
Dalam hubungan
dengan "simbol Allah" (symbol of God) yang melekat pada hamba
Tuhan.
Hamba Tuhan,
siapa pun mereka, adalah pembawa simbol Allah. Tipe pelayanannya (sering
berdiri di atas mimbar dengan membawakan "firman Allah"), pakaian,
dan alat-alat pelayanan yang dipakai, telah menyebabkan sebagian besar jemaat
memandang hamba Tuhan tidak seperti manusia pada umumnya.
Selama konsele
melihat hamba Tuhan (konsele) sebagai pembawa simbol Allah (yang setiap katanya
diterima sebagai firman Allah yang mutlak benar), maka proses konseling itu
menuju pada arah yang tidak sehat.
Dalam hubungan
dengan gejala "transference"
(pemindahan perasaan)
dalam setiap interpersonal relationship (hubungan timbal balik) antara dua
pribadi.
Transference
adalah istilah psikologis untuk menunjuk pada gejala pemindahan perasaan dari
yang seharusnya ditujukan pada obyek lain pada masa lampau kepada obyek yang
baru pada masa kini. Transference adalah gejala yang tidak mungkin dihindari
yang pasti akan terjadi dalam setiap interpersonal relationship antara dua
pribadi. Oleh sebab itu transference pasti akan terjadi dalam proses konseling
di antara konsele dan konselornya.
Sebagai gejala
dari alam ketidaksadaran (unconsciousness), transference terjadi mula-mula oleh
karena adanya banyak kebutuhan pada masa lampau yang tidak atau belum
terpenuhi, yang terpaksa ditekan untuk dilupakan (repressed). Kebutuhan-kebutuhan
itu (yang sebagian besar timbul dalam hubungan dengan orang tua) bisa positif
bisa negatif, bisa merupakan kebutuhan untuk mengasihi dan dikasihi maupun
kebutuhan untuk melampiaskan kebencian, kemarahan, dsb.
Kebutuhan-kebutuhan itu (oleh karena belum terpenuhi dan
terpuaskan) akan selalu mencari kesempatan (sebagai rangsangan insting) untuk
dipenuhi. Dan transference adalah salah satu jalan yang secara natural dimiliki
oleh setiap orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tadi. Dalam setiap
interpersonal relationship dengan orang lain, pasti terjadi suatu gejala
transference, gejala pemindahan perasaan(yang sebagian besar tidak disadari)
yang arahnya adalah pemenuhan kebutuhan yang belum terpenuhi pada masa lampau.
Begitu juga dalam hubungan antara konsele dan konselor, gejala transference ini
pun pasti terjadi. Konselor harus menyadari bahwa dalam interpersonal
relationship itu pasti ada hal-hal dari dirinya sendiri (entah wajahnya,
pandangan matanya, suaranya, mode rambutnya, pakaiannya, cara berbicaranya,
dsb.), yang menstimulir proses terjadinya gejala transference. Dan sikap dari
konsele terhadap konselor sebagian besar terjadi oleh karena gejala
transference itu. Kegagalan konselor untuk mengatasi atau mengontrol gejala
tranference adalah permulaan kegagalan proses konseling itu sendiri.
Dorongan Yang Merugikan Dari Dalam Diri Konselor Sendiri
Dalam
interpersonal relationship itu, konselor sendiri mesti waspada terhadap
dorongan dan rangsangan, yang sering kali timbul justru dari dalam dirinya
sendiri, yang bisa menjadi penyebab kegagalan pelayanan konselingnya.
PERTAMA, ialah kebutuhan untuk
melakukan counter-transference.
Counter-transference adalah istilah psikologis yang artinya
tidak lain daripada sikap menyambut dan menanggapi gejala tranference dari
konsele yang ditujukan padanya. Dan sebab yang terutama ialah oleh karena
sebagai manusia biasa hamba Tuhan (konselor) juga punya banyak persoalan dan
banyak kebutuhan (positif maupun negatif) yang tidak atau belum terpenuhi.
Kegagalan proses konseling dialami oleh banyak hamba Tuhan
oleh karena ia tidak menyadari akan gejala counter-transference dari dirinya
sendiri. Sebagai konselor seharusnya hamba Tuhan bersikap betul-betul netral,
mampu mengontrol emosinya dan tidak membiarkan sikapnya dipengaruhi oleh sikap
(yang biasanya merupakan gejala transference) dari konselenya.
Seperti yang dikatakan Karl Meninger, hendaknya ia selalu
waspada terhadap kebutuhannya sendiri untuk melakukan counter-transference,
yang bisa mengambil salah satu bentuk dari duabelas sikap tidak sehat di bawah
ini :
1. Carelessness in appointment schedules. (Tidak
menepati janji dan semaunya sendiri dalam memakai waktu yang tersedia).
1. Repeated erotic or hostile feelings.
(Munculnya perasaan berahi atau sebaliknya, yaitu benci kepada konsele).
2. Boredom or inattention during counseling.
(Munculnya perasaan bosan selama proses pembimbingan).
3. Permitting or encouraging misbehavior. (Membiarkan
sikap dan tingkah laku yang tidak seharusnya terjadi).
4. Trying to impress the parishioner. (Selalu
ada keinginan untuk menyenangkan konsele).
5. Arguing. (Berdebat).
6.
Taking sides
in a personal conflict. (Memihak dalam konflik yang dihadapi konsele).
7. Premature reassurance to lessen anxiety.
(Memberikan janji-janji dan jaminan-jaminan pada konsele yang terlalu dini
untuk mensukseskan kelanjutan pemimbingan).
8. Dreaming about parishioner. (Terbayang-bayang
wajah konsele).
9. Feeling that the parishioner's welfare or
solution to a problem lies solely with you. (Merasa bahwa hidup dan
penyelesaian persoalan seluruhnya tergantung pada kita).
10. Behavior toward one parishioner in a group
differently from other group members. (Sikap membedakan dari anggota yang satu
dengan yang lain dalam gereja yang kita gembalakan).
11. Making unusual appointments or behaving in a
manner unusual for you. (Membuat janji-janji pertemuan yang tidak biasa dengan
konsele dan bersikap tidak wajar).
Bagi hamba Tuhan (konselor) kebutuhan untuk melakukan
counter- transference adalah kebutuhan yang sangat berbahaya yang akan
menggagalkan pelayanan konselingnya. Hamba Tuhan harus menyadari bahwa dia
bukan psikiater (dokter jiwa) ataupun psychoanalyst (yang memang terlatih untuk
memakai gejala transference dan counter- transference untuk tujuan terapi),
oleh sebab itu dia tidak boleh mencoba dengan sengaja melakukan
counter-transference dan menstimulir gejala transference dari konsele untuk
tujuan apa pun juga.
KEDUA, ialah kebutuhan untuk
menikmati simbol Allah yang ada padanya.
Yang patut mendapat perhatian ialah, ternyata
kebutuhan yang merugikan ini sering kali bukan hanya sekedar ekspresi dari
kebutuhan manusiawi pada umumnya (kebutuhan akan pujian dan penghargaan),
tetapi kebutuhan tidak sehat dari kepribadian yang sakit yang sering kali
disebut dengan istilah 'narcissism'.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar