Senin, 06 Februari 2012

Sikap-sikap Merugikan

Sikap Merugikan Dari Pihak Konsele.
Dalam hubungan interpersonal relationship, konselor mesti menyadari adanya berbagai kemungkinan yang merugikan, ditimbulkan oleh sikap konsele terhadap konselornya.
Dalam hubungan dengan "simbol Allah" (symbol of God) yang melekat pada hamba Tuhan.
Hamba Tuhan, siapa pun mereka, adalah pembawa simbol Allah. Tipe pelayanannya (sering berdiri di atas mimbar dengan membawakan "firman Allah"), pakaian, dan alat-alat pelayanan yang dipakai, telah menyebabkan sebagian besar jemaat memandang hamba Tuhan tidak seperti manusia pada umumnya.
Selama konsele melihat hamba Tuhan (konsele) sebagai pembawa simbol Allah (yang setiap katanya diterima sebagai firman Allah yang mutlak benar), maka proses konseling itu menuju pada arah yang tidak sehat.
Dalam hubungan dengan gejala "transference" (pemindahan perasaan) dalam setiap interpersonal relationship (hubungan timbal balik) antara dua pribadi.
Transference adalah istilah psikologis untuk menunjuk pada gejala pemindahan perasaan dari yang seharusnya ditujukan pada obyek lain pada masa lampau kepada obyek yang baru pada masa kini. Transference adalah gejala yang tidak mungkin dihindari yang pasti akan terjadi dalam setiap interpersonal relationship antara dua pribadi. Oleh sebab itu transference pasti akan terjadi dalam proses konseling di antara konsele dan konselornya.
Sebagai gejala dari alam ketidaksadaran (unconsciousness), transference terjadi mula-mula oleh karena adanya banyak kebutuhan pada masa lampau yang tidak atau belum terpenuhi, yang terpaksa ditekan untuk dilupakan (repressed). Kebutuhan-kebutuhan itu (yang sebagian besar timbul dalam hubungan dengan orang tua) bisa positif bisa negatif, bisa merupakan kebutuhan untuk mengasihi dan dikasihi maupun kebutuhan untuk melampiaskan kebencian, kemarahan, dsb.
Kebutuhan-kebutuhan itu (oleh karena belum terpenuhi dan terpuaskan) akan selalu mencari kesempatan (sebagai rangsangan insting) untuk dipenuhi. Dan transference adalah salah satu jalan yang secara natural dimiliki oleh setiap orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tadi. Dalam setiap interpersonal relationship dengan orang lain, pasti terjadi suatu gejala transference, gejala pemindahan perasaan(yang sebagian besar tidak disadari) yang arahnya adalah pemenuhan kebutuhan yang belum terpenuhi pada masa lampau. Begitu juga dalam hubungan antara konsele dan konselor, gejala transference ini pun pasti terjadi. Konselor harus menyadari bahwa dalam interpersonal relationship itu pasti ada hal-hal dari dirinya sendiri (entah wajahnya, pandangan matanya, suaranya, mode rambutnya, pakaiannya, cara berbicaranya, dsb.), yang menstimulir proses terjadinya gejala transference. Dan sikap dari konsele terhadap konselor sebagian besar terjadi oleh karena gejala transference itu. Kegagalan konselor untuk mengatasi atau mengontrol gejala tranference adalah permulaan kegagalan proses konseling itu sendiri.

Dorongan Yang Merugikan Dari Dalam Diri Konselor Sendiri

Dalam interpersonal relationship itu, konselor sendiri mesti waspada terhadap dorongan dan rangsangan, yang sering kali timbul justru dari dalam dirinya sendiri, yang bisa menjadi penyebab kegagalan pelayanan konselingnya.
PERTAMA, ialah kebutuhan untuk melakukan counter-transference.
Counter-transference adalah istilah psikologis yang artinya tidak lain daripada sikap menyambut dan menanggapi gejala tranference dari konsele yang ditujukan padanya. Dan sebab yang terutama ialah oleh karena sebagai manusia biasa hamba Tuhan (konselor) juga punya banyak persoalan dan banyak kebutuhan (positif maupun negatif) yang tidak atau belum terpenuhi.
Kegagalan proses konseling dialami oleh banyak hamba Tuhan oleh karena ia tidak menyadari akan gejala counter-transference dari dirinya sendiri. Sebagai konselor seharusnya hamba Tuhan bersikap betul-betul netral, mampu mengontrol emosinya dan tidak membiarkan sikapnya dipengaruhi oleh sikap (yang biasanya merupakan gejala transference) dari konselenya.
Seperti yang dikatakan Karl Meninger, hendaknya ia selalu waspada terhadap kebutuhannya sendiri untuk melakukan counter-transference, yang bisa mengambil salah satu bentuk dari duabelas sikap tidak sehat di bawah ini :
1.       Carelessness in appointment schedules. (Tidak menepati janji dan semaunya sendiri dalam memakai waktu yang tersedia).
1.       Repeated erotic or hostile feelings. (Munculnya perasaan berahi atau sebaliknya, yaitu benci kepada konsele).
2.       Boredom or inattention during counseling. (Munculnya perasaan bosan selama proses pembimbingan).
3.       Permitting or encouraging misbehavior. (Membiarkan sikap dan tingkah laku yang tidak seharusnya terjadi).
4.       Trying to impress the parishioner. (Selalu ada keinginan untuk menyenangkan konsele).
5.       Arguing. (Berdebat).
6.       Taking sides in a personal conflict. (Memihak dalam konflik yang dihadapi konsele).
7.       Premature reassurance to lessen anxiety. (Memberikan janji-janji dan jaminan-jaminan pada konsele yang terlalu dini untuk mensukseskan kelanjutan pemimbingan).
8.       Dreaming about parishioner. (Terbayang-bayang wajah konsele).
9.       Feeling that the parishioner's welfare or solution to a problem lies solely with you. (Merasa bahwa hidup dan penyelesaian persoalan seluruhnya tergantung pada kita).
10.   Behavior toward one parishioner in a group differently from other group members. (Sikap membedakan dari anggota yang satu dengan yang lain dalam gereja yang kita gembalakan).
11.  Making unusual appointments or behaving in a manner unusual for you. (Membuat janji-janji pertemuan yang tidak biasa dengan konsele dan bersikap tidak wajar).

Bagi hamba Tuhan (konselor) kebutuhan untuk melakukan counter- transference adalah kebutuhan yang sangat berbahaya yang akan menggagalkan pelayanan konselingnya. Hamba Tuhan harus menyadari bahwa dia bukan psikiater (dokter jiwa) ataupun psychoanalyst (yang memang terlatih untuk memakai gejala transference dan counter- transference untuk tujuan terapi), oleh sebab itu dia tidak boleh mencoba dengan sengaja melakukan counter-transference dan menstimulir gejala transference dari konsele untuk tujuan apa pun juga.
KEDUA, ialah kebutuhan untuk menikmati simbol Allah yang ada padanya.
Yang patut mendapat perhatian ialah, ternyata kebutuhan yang merugikan ini sering kali bukan hanya sekedar ekspresi dari kebutuhan manusiawi pada umumnya (kebutuhan akan pujian dan penghargaan), tetapi kebutuhan tidak sehat dari kepribadian yang sakit yang sering kali disebut dengan istilah 'narcissism'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar